Kamis, 26 Juli 2012
Bulan Tanpa Awan di Kota Cirebon...
kirana's blog
No comments
Kota Cirebon, Jawa Barat, ibarat ladang subur bagi kawin-mawinnya kebudayaan dari berbagai bangsa dan agama. Ketiga keraton yang menjadi wewengkon (pemangku adat) di kota itu menanggung amanat dari leluhur mereka, Sunan Gunung Jati, untuk menjaga percampuran budaya itu berjalan damai dan penuh toleransi.
Di masa kekinian, itu sesungguhnya yang menjadi tantangan bagi berbagai kerajaan di Nusantara: menjaga negeri ini tetap berbhinneka tunggal ika.
Pemerhati seni budaya Cirebon, Nurdin M Noer, dalam bukunya Menusa Cerbon (2009), menggambarkan Cirebon sebagai Bulan tanpa awan. Artinya sebagai sebuah kebudayaan yang bersinar. Namun, sinarnya bukanlah sinar murni sebab berasal dari kebudayaan lain, laksana sinar Bulan yang adalah pantulan dari sinar Matahari.
Namun, sinar rembulan itu tak kalah indahnya dari sinar Matahari. Bahkan, mengundang selaksa tanda tanya dan misteri. Cirebon sebagai sebuah kawasan dan pusat kebudayaan pada akhirnya menjelma sebagai ”barang” baru yang unik dan beraneka warna. Bahkan, lebih kaya daripada budaya pembentuknya.
Pengaruh kebudayaan itu bergulat di hampir semua bagian arsitektur kompleks Keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Peguron Kaprabonan) dan lambang negara, utamanya gaya Hindu, Islam, dan China. Gapura berundak seperti ditemui saat masuk ke sebuah pura atau kuil Hindu ada di Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Di Keraton Kasepuhan, misalnya, gerbang itu ada saat memasuki kompleks Siti Inggil. Di Kanoman, bangunan Siti Inggil bahkan ditempeli dengan keramik China. Sayangnya, beberapa dari keramik itu lepas karena tangan usil dan penjarah.
Dua patung harimau putih di halaman Keraton Kasepuhan menandakan pengaruh tinggalan Pajajaran yang Hindu. Juga citra harimau putih di Keraton Kanoman. Di Kanoman citra harimau itu tak berdiri sebagai patung, melainkan ditempelkan di tembok dekat pintu masuk keraton.
Kesultanan Cirebon mengadopsi lambang ini dalam bentuk kaligrafi yang dikenal dengan Panji Macan Ali. Panji itu berupa kaligrafi bertuliskan dua kalimat syahadat yang dibentuk dalam citra seekor macan. Simbol itu menegaskan identitas Kesultanan Cirebon yang Islam, namun tak meninggalkan landasan budayanya di masa lampau.
Dialog budaya
Di sinilah letak dialog kebudayaan itu. Sunan Gunung Jati dengan arif tak memaksakan segala sesuatunya bergaya Timur Tengah untuk menandai kerajaan Islam. ”Islam disampaikan dengan tetap memerhatikan kesenian dan kebudayaan setempat. Bahkan, nama masjid pertama di Cirebon tidak ada yang memakai nama Arab atau desainnya kearab-araban,” kata Sultan Sepuh XIV Arief Natadiningrat.
Secara luwes, pengaruh Islam, Hindu, dan China itu melebur di hampir semua arsitektur masjid awal buatan wali. Salah satunya ialah Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan. Masjid yang dari luar lebih kelihatan seperti padepokan atau kuil ini mewakili semangat akulturasi. Ada unsur Jawa dengan atapnya yang limasan dan joglo di bagian depan. Banyaknya tiang sebagai sokoguru menunjukkan kekhasan masjid ini sebagai bangunan orang Jawa. Arsiteknya adalah Sunan Kalijaga.
Ada kisah, Sunan Gunung Jati memberikan salah satu kayu yang akan dipakai sebagai tiang di masjid itu kepada komunitas Tionghoa. Pimpinan komunitas itu, Yo Kie Tjit, ingin mendirikan kelenteng di daerah Jamblang. Pemberian itu sebagai bentuk kepedulian Sunan Gunung Jati kepada komunitas Tionghoa. Sebagai gantinya, ia dan Sunan Kalijaga membuat tiang baru dari sambungan potongan kayu yang dinamai ”Saka Tatal”.
”Saka Tatal dari sambungan kayu ini perlambang persatuan. Sunan Gunung Jati sangat menghargai warganya yang berbeda-beda,” ujar Hasan Muhjiddin, Imam Masjid Sang Cipta Rasa.
Tak berhenti pada simbol di permukaan, penghargaan Sunan Gunung Jati kepada yang lain dan berbeda itu ditunjukkan dengan kerendahan hatinya untuk belajar dan melestarikan seni tradisi pra-Islam di Cirebon. Bentuk kesenian seperti wayang, wayang wong, dan tari topeng tetap dihidupkan dengan diselipi pesan moral dan kebajikan. Beberapa gerakan dalam Tari Topeng, menurut Nurdin M Noer, melambangkan tulisan Allah dalam huruf Arab.
”Tuntunan kebajikan disampaikan melalui pergaulan dan muncul dalam kesenian rakyat yang dicintai, tidak dengan cara keras,” kata Elang Heri Komarahadi, pembina Sanggar Kesenian Sekar Pandan, di Keraton Kacirebonan, pekan lalu.
Namun, seni adalah seni. Sekarang sekalipun banyak muatan Islam dalam kesenian khas Cirebon, pelakunya bisa berasal dari berbagai suku dan agama, tak eksklusif umat Islam semata. Heri mengatakan, di sinilah keluhuran seni tradisi, ”Dimensinya tumpang tindih, tidak tertutup dan eksklusif.”
Tumpang tindih itu bisa dimaknai sebagai kerelaan untuk mengakomodasi berbagai pandangan dan berhenti mengklaim kebenaran sendiri. Semangat pemurnian kemudian menjadi mustahil dilakukan, terutama jika melihat betapa kawin-mawin budaya itu tak terhindarkan. Itu sama artinya dengan mengabaikan kemampuan manusia yang sejatinya makhluk berakal yang senang bermain, belajar, dan bisa beradaptasi.
Contoh lainnya adalah keberadaan bokor berisi dupa di salah satu pintu menuju makam Putri Ong Tien Nio, istri Sunan Gunung Jati dari China, di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Sulit untuk memilah apakah ini budaya Islam, Hindu, Buddha, atau China. Yang pasti perilaku menghargai leluhur yang biasa dilakukan warga Tionghoa dengan berdoa di altar memakai dupa juga dilakukan di makam itu. Pada malam tertentu, terutama Jumat Kliwon dalam penanggalan Jawa, ratusan orang datang dan berdoa sambil menyalakan dupa. Tak semua adalah keturunan Tionghoa.
Peran keraton
Di tengah percampuran budaya itu semua tetap bermuara pada keraton sebagai simbolnya. Di era kekinian, walau keraton di Cirebon tak memiliki kekuasaan pemerintahan, namun sebagai pemangku adat masih sering didatangi warga dalam berbagai kegiatan, misalnya mauludan dan gerebeg syawal. Dalam berbagai kesempatan itu sultan bertemu dengan rakyat sekaligus tokoh nasional yang diundang hadir.
Arief Natadiningrat mengatakan, beberapa kelompok masyarakat sering mengajaknya berdiskusi tentang banyak hal. ”Yang garis keras atau yang garis halus sama-sama datang ke sini. Ya, semua saya terima dan pendapatnya saya dengarkan,” ujarnya.
Dalam kondisi tidak memiliki kekuasaan, peran sultan sebatas memberikan nasihat dan saran. Sesekali sultan berperan sebagai mediator, bahkan fasilitator. ”Pernah ada laporan dari warga yang izin pendirian gerejanya dipersulit. Saya telepon pemerintah daerah setempat dan menanyakan kenapa izinnya dipersulit, padahal syaratnya sudah dipenuhi. Yang begitu itu masih bisa saya lakukan,” kata Arief.
Juru Bicara Keraton Kanoman Ratu Arimbi menyimpulkan, pluralisme di Cirebon sebenarnya bermuara pada kesejahteraan. Pluralisme dan kerukunan hidup bisa berjalan dengan sendirinya sebab dasar kebudayaan yang kuat. Kemiskinanlah yang membuat rakyat mudah terpancing.
sumber kompas.com
0 komentar :
Posting Komentar