Setelah sempat tertunda, akhirnya hasil pilpres Mesir diumumkan secara resmi. Dr Muhammad Mursi, kandidat dari Ikhwanul Muslimin (IM), mengalahkan Ahmad Syafiq, kandidat dari rezim lama sekaligus mantan perdana menteri terakhir Hosni Mubarak.
Kemenangan Mursi itu merupakan opsi yang paling bisa meminimalkan terjadinya kekerasan kembali. Sebab, jika Syafiq yang menang, ditenggarai akan muncul demonstrasi besar - besaran (kabarnya, puluhan ribu orang sudah terhimpun di alun - alun Tahrir menyambut pengumuman resmi hasil pilpres).
Apalagi, sebelumnya ada kabar hitam yang dilancarkan para pendukung Syafiq tentang dugaan adanya pemalsuan suara dari kubu Mursi, meski itu kemudian tidak terbukti. Pengajuan banding kubu pendukung Mursi berhasil, dan seperti yang sudah diprediksi quick count sebelumnya, kendati tidak unggul dengan selisih banyak, Mursi mengalahkan Syafiq dengan perbandingan suara sekitar 13 juta dan 12 juta.
Mursi, dengan demikian, menjadi presiden baru Mesir. Di pundaknya, tertumpu harapan publik Mesir pro revolusi. Dia berhasil membalik keadaan 6 tahun lalu: Pada 2006, Mursi dipenjara, sedangkan Mubarak jadi presiden. Kini pada 2012 Mursi menduduki kursi Mesir-1, sedangkan Mubarak dibui.
Namun, perjalanan Mursi untuk menyetir laju transisi demokrasi Mesir tidaklah tanpa hadangan. Masih banyak kerikil tajam yang harus dilalui. Revolusi Mesir belumlah selesai.
Tantangan utama bagi jalannya roda transisi demokrasi di Mesir adalah kaum militer. Hingga kini, Dewan Tinggi Militer (al-Majlis al-A'la li al-Quwat al-Musallahah atau Supreme Council of the Armed Forces/SCAF) masih mendominasi kekuasaan. SCAF bahkan melakukan manuver amat kontroversial: membubarkan parlemen.
Pemilu parlemen yang sudah menghabiskan banyak tenaga dan biaya seakan tak berhasil guna. Pembubaran parlemen itu juga berarti menghabisi dominasi IM di dewan legislatif sekaligus mengukuhkan otoritas SCAF sebagai pemilik mutlak kekuasaan (sementara). Militer di Mesir memang sudah lebih dari setengah abad "berdwifungsi" mencampuri pemerintahan sipil.
Konsekuensi pembubaran parlemen itu, SCAF akan mengendalikan sepenuhnya posisi legislatif sampai pemilu parlemen digelar ulang. UU yang baru dikeluarkan pada 30 Maret lalu menyatakan, SCAF punya kuasa hampir tak terbatas dalam menyusun kabinet dan pemerintahan serta memiliki hak veto dalam masalah hubungan internasional dan darurat militer.
Hal itu membuat SCAF tidak akan memenuhi janjinya untuk menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil pada akhir Juni. SCAF masih menjadi pemerintah Mesir secara de facto. SCAF mungkin masih khawatir terhadap ambisi politik IM. Ada kekhawatiran dari kubu militer serta dari kalangan liberal-sekuler secara partikular. Jika IM menang, konstitusi dan haluan negara Mesir akan diubah ke arah Islam.
Karena itu, menjadi keharusan bagi IM untuk tidak terlalu menonjolkan ambisi Islamisme-nya. Hal tersebut bisa berbalik menjadi bumerang dan mengecewakan publik. Apalagi, sebelumnya IM sempat terlalu "pede" ingin mendominasi Dewan Konstituante dengan menempatkan wakilnya sebanyak - banyaknya sampai - sampai kelompok - kelompok nonpartisan seperti AL - Azhar, Kristen Koptik, dan kubu liberal menarik wakil - wakil mereka.
Ambisi yang berlebihan justru bisa kontraproduktif. Ambisi itu juga akan semakin menjauhkan SCAF untuk bisa diajak berdialog dengan IM. Terutama menyangkut hubungan internasional, khususnya relasi dengan Israel, IM menghadapi tantangan lobi - lobi asing yang bisa jadi membacking SCAF.
Karena itu, IM dengan representasinya di kursi kepresidenan, tak bisa tidak, harus mampu mengakomodasi kepentingan banyak kelompok yang berbeda haluan. Dengan bekal tersebut, diharapkan mereka bisa menampung lebih banyak dukungan untuk mengikis anasir - anasir Mubarak di tubuh pemerintahan baru nanti.
0 komentar :
Posting Komentar