Dari sekitar 200 pengrajin wayang kulit di sentra industri Kepuhsari, Wonogiri, Jawa Tengah, sebagian besar harus mencari penghasilan tambahan karena usaha ini tidak dapat menunjang hidup.
Menurunnnya apresiasi terhadap wayang merupakan salah satu penyebab di balik sulitnya menjadikan bisnis kerajinan ini sebagai penopang hidup, kata para pengrajin.
Dwi Sunaryo, sesepuh pengrajin, yang telah menjalani tradisi kerajinan ini sampai 20 generasi â" mengatakan penghasilan yang mereka peroleh minim dan karena itu harus mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup.
"Pada umumnya para pengrajin memiliki pekerjaan lain dan kerajinan ini dilakukan sebagai sambilan karena tidak akan cukup," kata Dwi.
"Minat terhadap wayang juga berkurang...dan tidak semua orang suka juga," tambah Dwi.
Pada umumnya, penduduk desa Kepuhsari bertani dan juga berdagang.
Namun pada sore hari, tradisi menatah dan mewarnai wayang mereka lakukan lagi sampai lewat tengah malam.
"Biasanya kami selalu tidur lewat tengah malam. Kami berkumpul di meja dan sibuk menatah wayang dan tanpa terasa lewat tengah malam," kata Sujoko, yang bekerja sebagai perangkat desa.
Tidak ada penyalur khusus
Produksi wayang kulit desa Kepuhsari ini mencapai 5.000 unit setiap tahunnya, kata Giriyanto Kuncoro Aji, ketua asosiasi pengrajin di Kepuhsari.
Tetapi penjualan wayang kulit ini hanya dilakukan berdasarkan pesanan â" pada umumnya dalang atau mereka dengan hobi wayang- dan tidak melalui penyalur resmi.
Karena itulah, dibentuknya Kepuhsari sebagaiKlik Desa Wayang oleh empat anak muda, Ariel Pradipta, Fiona Ekaristi Putri, Patricia Sanjoto dan Rieke Caroline- disambut para pengrajin sebagai harapan untuk mempromosikan kerajinan mereka.
"Inilah yang sejak lama saya tunggu. Semakin banyak pengunjung berarti semakin banyak pendapatan," kata Dwi.
0 komentar :
Posting Komentar